Masih banyaaakkk pengorbanan para Ibu yang mereka jalankan dalam rangka memenuhi kodrat mereka sebagai perempuan, sebagai istri, sebagai pekerja, dan pastinya, sebagai seorang Ibu. Ibu kasih contoh 2 sosok Ibu yang terhebat sepanjang hidup Ibu: Mbah Banjar dan Eyang Cirebon.
* Mbah Banjar:
Beliau nikah dengan Mbah Mudi (almarhum) waktu beliau baru saja lulus SMP, jadi umurnya sekitar 14 tahunan. Posisinya saat itu Mbah Mudi Kakung adalah seorang Bapak dengan 5 orang anak, dimana anak pertamanya hampir seumuran dengan Mbah Banjar. Nikah dengan Mbah Mudi Kakung, Mbah Banjar dikaruniai 11 orang anak. Yaaa... 11 orang saja. 6 orang wanita 5 orang laki-laki. Jadi total putra putri Mbah Mudi adalah 16 orang sajah...
Anywayyy... waktu Mbah Mudi dipanggil Allah tanggal 03 bulan 03 tahun 1983, Mbah Banjar otomatis jadi
single fighter. I mean, the real single fighter. Bayangin: ibu rumah tangga biasa dengan 16 anak, dimana anak bungsunya (Om Tofik) aja, umurnya baru 7 bulan. Secara matematis, gimana bisa, ke-16 anaknya
survive, cobaaaa? Tapi ya itu.. Hidup itu bukan hitungan matematis. 2x2 nggak selalu jadi 4. Dalam hidup, 2x2 itu bisa aja jadi 6-2; bisa juga jadi 5-1, ato 8-4.. Itu udah jadi rahasia ALLAH SWT, dan rahasia itu akan selalu jadi rahasia.
We never knows...
Satu hal yang selalu Ibu inget tentang Mbah Banjar sampe sekarang adalah : duluuuu jaman Ibu masih kecil (dan masih tidur seranjang dengan Mbah), tiap kali malam takbiran (entah Idul Fitri atopun Idul Adha') Mbah pastiiii nangis. Diem-diem. Kayaknya nggak mau ada seorangpun yang tahu kalo Beliau nangis. Tapi Ibu tahu Beliau takbiran sambil nangis. Dulu, Ibu nggak tahu, kenapa tiap malem takbir Mbah nangis. Tapi seiring waktu, Ibu akhirnya ngerti, Mbah nangis karena Beliau inget dengan Mbah Mudi almarhum.

Satu hal lagi tentang Lebaran. Tiap mendekati hari H Lebaran, Mbah jaraannngg banget tidur. Soale dari pagi-pagi sekali -biasanya 2-3 hari sebelum Lebaran-, beliau udah sibuk masak buat anak dan cucu-cucunya.
(Ibu udah bilang anaknya Mbah Banjar ada 16, kan? Coba ditambah dengan mantu dan cucu-cucu. Wuiiiihhh.. berapa coba, tuh?) Coba, masakan yang wajib Mbah Banjar bikin itu (kurang lebih): bumbu pecel (
dulu, bikinnya selalu ditumbuk secara manual pake alu); trus bikin kering tempe yang porsinya sejibun; trus bikin mendut (
kue tradisional khas Mbah Banjar yang digemari semuaaaaa anak, mantu dan cucunya Mbah); bikin peyek kacang (
kacangnya dipotongin satu-satu, lho.. dan nggak tahu deh ada berapa kilo itu kacang..); jangan lupa bikin ketupat; trus bikin gurame dimasak tomat; terus semur daging sapi yang juga wajib ada (
dagingnya minimal 8 kg sajah). Dan semua itu di buat dalam porsi super jumbo. S-U-P-E-R-J-U-M-B-O!! Lha, ya iya. Musti super jumbo. Kalo nggak, nanti ada yang nggak kebagian, dong.
Wis, to... pokoknya liat kerjaan Mbah kalo mau Lebaran, Ibu angkat tangan, deh. (
kibarkan bendera merah putih tanda nyerah) Dan tolong dicatet ya.. Itu semua dikerjain sendiri. Ya, sendiri. Lhaahhh?
Anak-anaknya pada kemana? Ya ada.. cuma kan bantuinnya juga sedikit-sedikit aja. Yang bagian terpenting dan terbanyaknya tetep Mbah yang ngerjain. Oh ya.. Jangan lupakan tentang kopi. Ya, jadi Mbah Banjar itu paling sering bikin kopi item sendiri. Dari biji kopi (asliiiii ini mah kopi beneran kopi) di gangsah (hayahhh, bener nggak sih, istilahnya?) di atas api, trus ditumbuk manual pake alu. Iyaaaa.. Dan itu sekali bikin kopi tumbuk, bisa 2-3 kg biji kopi, lho. Dan yang paling bikin dramatis, itu semua makanan plus kopi item (asli) buatan Mbah Banjar ~yang ngebikinnya pake alat tradisional semua itu~ (bumbu kacang buat pecel dan kopi ditumbuk pake alu-pake tangan, gak pake mesin-, kue mendut ngebungkusinnya bisa makan waktu berjam-jam saking banyaknya, kering tempe juga sama) bisa ludes 'hanya' dalam tempo yang sesingkat-singkatnya. Jakarta, 17 Agustus 1945, atas nama.....

Jadi kalo Lebaran, udah pasti Mbah itu (nyaris) nggak tidur selama beberapa hari. Dan itu buat apa? Ya 'cuma' buat ngejamu anak-cucunya (
yang jumlahnya hampir nggak terhitung itu) yang pasti selalu datang ke rumah (
dan kebanyakan nginep..eh ya.. hitung aja sendiri, kalo jumlah masakan yang udah disebut diatas dikonsumsi untuk ehm... 16 anak plus mantu-mantu, plus cucu-cucu dan cicit-cicit selama.. err.. let say: for 2 days only..) Huaahhh...
Dan balasan untuk Mbah apa? Ya nggak ada, selain wajah puas, tiap kali anak, mantu, cucu dan cicitnya makan dengan lahap semuaaaaa masakan yang Beliau bikin selama beberapa hari itu. Subhanallah...

Daaaan satu hal yang paliiinggg Ibu kagumi dari Mbah Banjar: Beliau nggak pernah (
mohon digaris tebal) nggak pernah sekalipun~
even once~ ngeluh tentang menderitanya Beliau sejak ditinggal Mbah Mudi Almarhum, ato cerita-cerita ke anak, mantu maupun cucunya, tentang beratnya jadi single parent selama 27 tahun lebih. Nggak pernah sekalipun. Apalagi pamer -pamer tentang perkasanya Beliau menghadapi kerasnya hidup ini. Nggak pernah sama sekali. Lagi-lagi: Subhanallah...

Oke, sekarang lanjut cerita ke Eyang Cirebon.
* Eyang Cirebon
Ceritanya kurang lebih sama, beliau ditinggal Eyang Kakung waktu tante Eva (anak Bungsu Eyang) masih di kandungan. Beratnya membesarkan 4 anak juga pasti dialami Eyang Cirebon, secara beliau juga tadinya 'cuma' Ibu rumah tangga yang nggak tahu gimana caranya mencari uang. Tapi heyyy... lihatlah dimana sekarang anak-anaknya berada. Semua udah dewasa, dan insyaALLAH, semua pengorbanan itu akan berbuah manis..
Sebagai penutup, mari kita hitung pengorbanan Mbah Banjar dan Eyang Cirebon dengan (minimal) 4 kategori yang udah Ibu tulis diatas. Mengandung, melahirkan, menyusui dan membesarkan (plus mendidik) anak-anaknya. Oh, ya.. jangan lupa. Untuk Eyang Cirebon, kalikan hasilnya dengan 4 (anak) dan untuk Mbah Banjar, kalikan hasilnya dengan 11 (anak) untuk kategori 1, 2 dan 3, dan kalikan 16 (anak) untuk kategori yang ke-4.
Udah? Udah.
Nach sekarang, coba bandingkan dengan pengorbanan Ibu. Biar adil, hitung pengorbanan Ibu dengan 4 kategori diatas juga. Udah? Sekarang kalikan hasilnya dengan 3 (anak). Bang Andro, Mbak Aura, dan Baby Amartha. Udah? Udah. Hasilnya? Apa, Buuu? Hah? Nggak kedengeran! Yang keras, cobaaaa... Hasilnya: Nggak sebandiiinggg... Maluuuu....
